Terus Menyala Garuda, Kepakkan Sayap Menuju Piala Dunia!

Timnas Indonesia meraih hasil seri dengan skor akhir 0-0 saat menjamu Australia di Stadion Utama Gelora Bung (SUGBK), Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Potret duel Indonesia kontra Australia dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Saat menonton pertandingan tim nasional sepakbola Indonesia baru baru ini, tiba-tiba saya teringat tulisan Goenawan Mohammad (GM) di Catatan Pinggir. GM menulis, “sebab mencintai tanah air, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia.”

Tidak hanya “merasa” terpaut, namun juga menggumpal rasa bangga menjadi bagian dari negeri itu. Meskipun bukan siapa-siapa, hanya satu dari sekian juta rakyat biasa. Perasaan itu terpercik saat suporter timnas yang memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno menyanyikan “Indonesia Raya” dengan khidmat. Perasaan itu semakin mengharu-biru karena hanya bisa nonton dari “live streaming”. Jauh dari tanah air.

Kerinduan terhadap kampung halaman juga menggelora saat para suporter menutup ritual pertandingan dengan lagu “Tanah Airku”. Lagu gubahan Ibu Sud itu, menggema dan memenuhi SUGBK, membuat bulu kuduk merinding.

“Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai. Engkau kuhargai.” Liriknya mendayu, tapi tidak “cengeng”, menggambarkan kecintaan dan kerinduan terhadap tanah air. Dulu, maskapai Garuda Indonesia selalu memutarnya pada saat pesawat “landing” di bandara Indonesia.

Apakah itu yang disebut nasionalisme? Tentu tidak sesederhana itu mendefinisikan dan menyimpulkannya. Mungkin rasa itu hanya satu percikan romantisme tentang nasionalisme. Bisa jadi terasa “superficial”. Namun kadang hal-hal yang superfisial semacam, itu dibutuhkan juga. Tentu pada akhirnya harus diikuti hal-hal yang substansial.

Berbeda

Timnas Indonesia saat ini, berbeda dengan era sebelumnya. Kualitas permainannya meningkat drastis. Dua pertandingan terakhir, Tim Garuda mampu menahan imbang negara-negara langganan kualifikasi piala dunia dengan peringkat FIFA yang jauh di atas kita, yaitu Arab Saudi dan Australia.

Ada yang berpendapat itu, raihan itu bukan cerminan kualitas dan hasil pembinaan sepakbola Indonesia. Mereka menyorot gelombang naturalisasi para punggawa timnas sebagai kontribusi utama keberhasilan itu.

Namun, pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Naturalisasi pemain sudah dilakukan sejak dulu. Hanya saja, saat ini naturalisasi itu terkesan masif dan agresif. Nyaris seluruh lini dalam segala formasi diisi pemain naturalisasi.

Pemain naturalisasi yang dicari juga disesuaikan dengan kebutuhan, skema dan strategi permainan yang diinginkan pelatih timnas, Shin Tae Yong (STY). Naturalisasi juga difokuskan pada pemain berkualitas yang memiliki darah Indonesia.

Entah dari orang tua, kakek nenek atau generasi di atasnya. Memang ada juga yang tidak punya keturunan darah Indonesia, seperti Maarten Paes. Namun, seperti dikutip dari detik.com, Paes dinaturalisasi memakai pendekatan Blijvers, yaitu, keturunan etnis Eropa yang lahir di Hindia Belanda. Neneknya Paes lahir di Kediri, Jawa Timur.

Jadi, sebenarnya tidak perlu menghadapkan secara diametral naturalisasi vs non-naturalisasi. Setelah mereka bersumpah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), mereka pun punya hak dan kewajiban yang sama di hadapan negara.

Fenomena serupa, meski tentu tidak bisa dikomparasikan “apple to apple“, juga ada di bidang lain. Bahkan juga di ketentaraan. Dalam sejarah Kopassus, sebagaimana dikutip dari beragam sumber, ada Mochammad Idjon Djanbi, yang berjasa besar dalam pendirian pasukan baret merah tersebut. Nama aslinya Barendrecht “Rokus” Visser, mantan tentara Korps Speciale Troepen KNIL yang memilih bergabung dengan Indonesia selepas agresi militer Belanda.

Produk liga

Lantas bagaimana dengan hasil kompetisi internal PSSI? Pemain hasil produk liga Indonesia juga mengisi jajaran timnas. Ada juga yang selalu jadi starter, misalnya Rizki Ridho, mengisi barisan pertahanan bersama Jay Idzes dan Calvin Verdonk. Ada juga Marselino dan Witan di barisan penyerang dan gelandang.

Tentu kita tidak boleh puas hanya dengan capaian itu. Pembenahan liga domestik mutlak dilakukan. Manajemen liga harus bisa memadukan antara pembinaan, prestasi dan industri. Sepakbola profesional harus menjadi industri sehingga para pemainnya dapat hidup layak, sekaligus menghasilkan bibit-bibit pemain berkualitas dan melahirkan berprestasi atas nama negara, dan juga klub-klub Liga Indonesia.

Sepakbola juga harus dapat jadi tontonan yang menghibur, aman dan nyaman bagi setiap orang atau keluarga. Kerusuhan dalam bentuk apapun harus ditinggalkan. “Zero tolerance” terhadap kerusuhan dan tindak tegas pelakunya! Fanatisme terhadap klub atau tim harus diwujudkan dalam bentuk cinta, bukan vandalisme dan kekerasan.

Pada akhirnya, di tengah dinamika perpolitikan di tanah air yang acapkali “berjarak” dari denyut nadi dan aspirasi rakyat, momen olahraga jadi penghilang dahaga akan jati diri dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa.

Terus menyala, Garuda, kepakkan sayap menuju Piala Dunia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*